Guru: Profesi mulia dengan tingkat stres yang tinggi
Penulis: Fandy Hutari
Presiden Jokowi menyebut, guru adalah profesi yang paling membuat stres dibandingkan pekerjaan lainnya. Apa benar? Dalam peringatan HUT ke-78 PGRI di Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (25/11), Presiden Joko Widodo menyampaikan hasil riset bahwa guru adalah pekerjaan yang paling membuat stres dibandingkan pekerjaan lainnya. Pernyataan Jokowi itu merujuk hasil survei lembaga riset asal Amerika Serikat RAND Corporation pada 2022. Mengutip dari Forbes, survei RAND Corporation pada 2022 memang menyebut, para guru dan kepala sekolah dua kali lebih mungkin mengalami stres dibandingkan profesi lainnya. “(Sebanyak) 73% guru dan 85% kepala sekolah menyatakan, mereka sering mengalami stres terkait pekerjaan,” sebut RAND Corporation, dikutip dari Forbes.
Survei itu juga melaporkan, 59% guru dan 48% kepala sekolah merasa burnout (kelelahan)—kondisi stres kronis di mana pekerja merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional gara-gara pekerjaannya. Lalu, 28% pendidik mengatakan mereka mengalami gejala depresi. Survei yang didanai <i>National Education Association (NEA)dan American Federation of Teachers (AFT)tersebut juga mengungkapkan, pandemi menjadi faktor utama peningkatan stres. “Hampir setengah (47%) guru mengatakan bahwa membantu siswanya menghadirkan pembelajaran yang hilang akibat pandemi ini adalah salah satu dari tiga sumber utama stres terkait pekerjaan,” tulis Forbes. Ditulis Forbes, guru yang punya pengalaman enam hingga 10 tahun secara signifikan lebih mungkin melaporkan mereka kelelahan, merasa depresi, atau tak bisa mengatasi stres dengan baik, dibandingkan guru lainnya.
“Sekitar sepertiga guru dan kepala sekolah mengatakan mereka kemungkinan akan meninggalkan pekerjaannya saat ini pada akhir tahun ajaran ini (2022), naik dari sekitar seperempat guru dan 15% kepala sekolah ketika survei serupa dilakukan tahun lalu (2021),” tulis Forbes. Lebih lanjut, RAND Corporation juga menyebut, guru yang punya kesejahteraan buruk atau kondisi kerja yang penuh tekanan lebih cenderung mengatakan ingin berhenti dari pekerjaannya.
Berbagai riset
Survei tersebut sejalan dengan penemuan empat peneliti dari Departemen Psikiatri University of Alberta, yakni Belinda Agyapong, Gloria Obuobi-Donkor, Lisa Burback, dan Yifeng Wei. Dalam riset mereka berjudul “Stress, burnout, anxiety and depression among teachers: A scoping review di International Journal of Environmental Research and Public Health (September, 2022), profesi guru memang rentan menimbulkan stres yang tinggi. “Stres ini dapat menyebabkan berkurangnya gairah kerja, burnout, dan kinerja yang buruk,” tulis para penelitian.
Mereka menghimpun banyak artikel penelitian berbahasa Inggris yang telah melewati proses reviu, yang diterbitkan dari 1974-2022, untuk mencari tahu tingkat stres para guru. Artikel-artikel itu merangkum 143.228 peserta, yang berprofesi sebagai guru, dengan rentang usia 18-75 tahun. Sebagian besar penelitian dilakukan di Eropa (40%) dan Asia (30%). Selebihnya, Amerika Utara (19%), Afrika (6%), Amerika Selatan (4%), dan Oseania (4%).
Hasilnya, prevalensi burnout berkisar antara 25,12%-74%, stres 8,3%-87,1%, kecemasan 38%-41,2%, dan depresi 38%-41,2%. Kecemasan dan stres yang dirasakan guru, diduga berasal dari beban kerja, perilaku siswa, dan kondisi lingkungan pekerjaan. “Kurangnya dukungan administratif merupakan faktor terbesar yang meningkatkan kecemasan,” kata para peneliti. “Stres pada guru berkontribusi terhadap kecemasan guru dan bisa memicu kemarahan.” Di Inggris, stres pada guru juga menjadi kekhawatiran pemerintah setempat. Menurut laporan National Foundation for Educational Research (NFER) pada 2019, satu dari lima guru merasa stres dengan pekerjaan mereka hampir sepanjang waktu, dibandingkan dengan 13% dari mereka yang punya pekerjaan serupa.
“Guru menanggung stres terkait pekerjaan yang lebih besar dibandingkan profesi lainnya,” sebut, dikutip dari The Guardian. NFER, seperti dilansir dari The Guardian menyebut, meski jam kerja guru sepanjang tahun serupa dengan profesi lain, tetapi bekerja secara intensif selama beberapa minggu dalam setahun menyebabkan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih buruk dan tingkat stres yang lebih tinggi.
“Ketika dihadapkan pada beban kerja yang berat, akuntabilitas yang tiada habisnya, budaya ujian yang tidak menentu, dan kesepakatan gaji yang datar atau kekurangan dana dari tahun ke tahun, sangatlah umum bagi guru untuk meninggalkan profesinya,” ujar mantan Sekjen The National Education Union, Mary Bousted, kepada The Guardian. Di sisi lain, pada 2020 peneliti gabungan dari Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Jambi, dan Universiti Utara Malaysia, yakni Lantip Diat Prasojo, Akhmad Habibi, Mohd. Faiz Mohd. Yaakob, Robin Pratama, Mat Rahimi Yusof, Amirul Mukminin, Suyanto, dan Farida Hanum pernah meneliti perihal burnout guru di Indonesia dalam penelian berjudul “Teachers’s burnout: A SEM analysis in an Asian context”, terbit di Jurnal Heliyon.
Mereka menggunakan dua prediktor utama, yakni teacher self-concept (TSC) dan teacher efficacy (TE) untuk memprediksi burnout. Mereka juga membangun model yang melibatkan TSC, TE, dan tiga komponen burnout, yakni emotional exhaustion (EE), depersonalization (DE), reduced personal accomplishment (RPA), dan penurunan reduced personal accomplishment (RPA)melalui structural equation modeling (SEM).
TE adalah kepercayaan guru akan kemampuannya mengorganisasi dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengerjakan tugas mengajar yang spesifik dengan sukses. Sedangkan TSC adalah persepsi guru terhadap efektivitas evaluasi kegiatan pembelajaran. Mereka mengambil sampel terhadap 876 guru SMA di tiga kota, yakni Jambi, Bandung, dan Yogyakarta. Responden perempuan berjumlah 618 (70,54%) dan laki-laki sebanyak 258 (29,35%). Pengalaman mengajarnya bervarasi. Sebanyak 291 (33,22%) guru memiliki pengalaman mengajar kurang dari lima tahun dan 585 (66,78%) guru punya pengalaman mengajar di atas lima tahun.
Temuan riset ini, sebagian besar informasi demografis—gender dan pengalaman mengajar—tak berbeda secara signifikan terhadap semua konstruksi yang dibangun dalam penelitian ini, yaitu TSC, TE, EE, DE, dan RPA.“Hanya satu konstruk pada komponen burnout (DE)yang ditemukan berbeda mengenai pengalaman mengajar,” tulis para peneliti.Selain itu, guru dengan sedikit pengalaman mengajar mengalami lebih banyak burnout dibandingkan guru dengan banyak pengalaman. Lalu, guru yang lebih berpengalaman memiliki TE lebih tinggi dibandingkan guru baru.
Prasojo dkk merekomendasikan, TSC dan TE untuk dipupuk agar burnout dapat dihilangkan. Cara paling sederhananya bagi sekolah adalah dengan memfasilitasi guru berbagai kesempatan untuk merasakan pengajaran yang bermanfaat, seperti kursus dengan beberapa siswa.
“Melalui cara ini, mereka dapat termotivasi untuk terus mengembangkan gayanya sendiri (dalam mengajar) dan mempengaruhi guru lain dalam belajar mengajar,” tulis Prasojo dkk.“Bekerja dengan teman-teman juga akan berguna saat membuat rencana pembelajaran.”
Tentu saja masih banyak cara lainnya yang dapat digunakan guru untuk mengatasi stres. Apa saja cara-cara tersebut? Ayo pelajari sekarang juga dengan mengklik kursus di bawah ini, daftarkan diri Anda, dan ikutilah kursus Coping with Stress in the Midst of Uncertaintie!