Perkembangan Anak dan Pembelajaran Kolaboratif

Penulis: Ryan Oktapratama, B.Ed., M.Pd.

Dalam buku yang disunting oleh Cindy Hmelo-Silver, Clark Chinn, Carol Chan, dan Angela O’Donnell, yaitu “The International Handbook of Collaborative Learning” , para penulis menggunakan beberapa pendekatan teori dalam memahami pembelajaran kolaboratif, seperti: (1) pemrosesan informasi, (2) perkembangan anak, serta (3) kognisi. Mari kita lihat satu per satu.

Pertama, pendekatan teori pemrosesan informasi. Inti dari teori pemrosesan informasi adalah membahas bagaimana murid secara aktif dapat memproses informasi selagi berkolaborasi dengan orang lain.

Mungkin Anda pernah menggunakan pembelajaran kolaboratif di dalam kelas. Tetapi, pertanyaannya adalah, bagaimana sebenarnya para murid memahami suatu materi melalui pembelajaran tersebut? Inilah yang akan kita lihat melalui pendekatan teori pemrosesan informasi ini.

Para penulis menyebutkan bahwa dalam pembelajaran kolaboratif, murid diharuskan berkomunikasi dengan orang lain. Melalui komunikasi inilah murid dapat dibangun pemahamannya sebab terdapat pertukaran dan pemrosesan informasi yang akan terjadi.

Sebagai contoh, di dalam interaksi kelompok, murid harus mempresentasikan ide-ide atau pendapat mereka; ini berarti murid harus memberikan informasi kepada orang lain. Dalam memberikan informasi ini terdapat pemrosesan informasi yang terjadi sebelumnya. Selain itu, setelah ide-ide atau pendapat disajikan, teman-temannya juga dapat merespons informasi yang diberikan dengan memberikan pertanyaan, persetujuan, atau perbedaan pendapat. Dalam hal ini juga terjadi pemrosesan informasi.

Jadi, dalam pendekatan teori pertama ini, kita dapat menyimpulkan bahwa saat murid saling berkolaborasi dengan teman-temannya, mereka dapat menghasilkan pemikiran dan pemahaman melalui komunikasi yang terjadi di antara mereka yang kita sebut sebagai pemrosesan informasi.

Selanjutnya, teori yang kedua adalah pendekatan teori perkembangan anak. Inti dari teori perkembangan anak adalah untuk memahami pikiran dan perilaku manusia, dan dalam konteks ini pada para murid kita, yaitu melalui pemahaman mengenai perkembangan anak dari waktu ke waktu, sejak balita hingga dewasa. Di dalam rentang waktu tersebut, perkembangan murid dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi, seperti keluarga, teman, dan konteks budaya yang lebih besar.

Perlu diketahui bahwa perkembangan teori anak pada umumnya menyajikan tahapan-tahapan perkembangan yang anak akan lalui. Tetapi, kita perlu mengingat juga, ada banyak kasus dimana seorang anak tidak dapat berkembang dengan baik pada tahapan tertentu sehingga dapat mengakibatkan perkembangannya menjadi terhambat. Ini bisa saja diakibatkan dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi.

Jadi, melalui pendekatan teori perkembangan anak, kita dapat melihat kondisi ideal murid, dan apa saja faktor-faktor yang memungkinkan kondisi tersebut dapat terjadi. Faktor-faktor inilah yang kemudian akan menjadi basis guru dalam mengambil keputusan pada perancangan pembelajaran kolaboratif.

Secara singkat, para penulis merangkum kaitan teori perkembangan anak dan pembelajaran kolaboratif adalah sebagai berikut. Pertama, ketika murid masih sangat muda, kolaborasi perlu dilakukan dengan orang dewasa. Selanjutnya, kolaborasi awal yang terjadi adalah saat taman kanak-kanak, yaitu dalam bermain. Banyak riset yang menunjukkan bahwa interaksi dengan teman-teman saat bermain dapat memacu perkembangan intelektual dan keterampilan sosial murid.

Selanjutnya, dari pernyataan tersebut, kita dapat memahami bahwa kolaborasi di tingkat selanjutnya adalah dengan teman sebayanya, jika interaksi dengan orang dewasa (misalnya orang tua dan guru) sudah dijadikan fondasi dan efektif dilaksanakan saat para murid masih sangat muda.

Jika kita tarik teori ini dalam konteks kelas, maka guru berperan penting dalam membangun fondasi kolaborasi yang baik di antara murid. Misalnya, hal ini dapat dilakukan dengan mengajarkan murid bagaimana berkomunikasi dengan teman sebayanya, dan bagaimana bisa bertanggung jawab di dalam kelompok. Jika ini diajarkan dengan baik, maka pembelajaran kolaboratif akan menjadi sebuah sukacita bagi para murid, bukan dukacita.

Jadi, dalam pendekatan teori perkembangan ini kita dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran kolaboratif memiliki fondasi dari interaksi yang efektif antara anak dan orang dewasa, dalam konteks ini adalah orang tua murid dan guru.

Selanjutnya, yang ketiga adalah pendekatan teori kognisi dalam pembelajaran kolaboratif. Di dalam buku, sub bagian mengenai teori kognisi ini ditulis oleh Gerry Stahl. Selain dari buku, penjelasan pada sub bagian ini juga diambil dari presentasi yang diberikan oleh Gerry Stahl pada akun YouTube pribadinya berjudul, “Stahl, Group Cognition, short version” dan “Group Cognition Interview 5 min.”

Sebelum lebih lanjut, adapun yang dimaksud dengan kognisi adalah pemikiran (thought). Stahl menyebutkan bahwa walaupun kognisi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu individu maupun kelompok, tetapi semuanya itu tetap berasal dari kognisi kelompok. Bagaimana maksudnya?

Terkait dengan kognisi individu, Gerry Stahl menjelaskan bahwa sebagai seorang individu, kita berbicara kepada diri kita sendiri menggunakan bahasa, ide, motivasi, dan emosi yang kita dapatkan melalui interaksi dengan orang lain. Ini berarti semua hal yang kita dapatkan dari orang lain, kita jadikan sebagai milik kita sendiri.

Sebagai contoh, ketika murid melakukan sebuah diskusi kelompok, mereka akan saling berbagi pandangan atau pendapat terhadap suatu fenomena, masalah, atau pertanyaan. Ada kemungkinan bahwa pandangan atau pendapat murid terhadap suatu fenomena, masalah, atau pertanyaan tersebut menjadi berubah ketika ia mendengarkan pandangan atau pendapat temannya.

Contoh lainnya, di dalam kerja kelompok, murid akan melihat bagaimana temannya belajar dan menyelesaikan tanggung jawabnya masing-masing. Murid bisa belajar bagaimana teman-temannya berpikir, mengambil keputusan, dan menyelesaikan sesuatu. Jika dalam pandangan murid hal itu baik, maka besar kemungkinan ia juga akan mengadopsi bagaimana cara temannya berpikir, mengambil keputusan, dan menyelesaikan suatu hal.

Jadi, dalam konteks tersebut, melalui pembelajaran kolaboratif, murid dapat saling belajar dari satu sama lain. Mereka bisa saling mempengaruhi dan dipengaruhi melalui interaksi sosial yang terjadi selama kerja kelompok. Dapat dikatakan bahwa partisipasi murid di dalam kelompok dapat merubah kelompok tersebut.

Oleh karena itu, peran guru di sini adalah untuk memastikan bahwa murid bisa saling belajar satu sama lain. Sebelum diadakannya kerja kelompok, murid perlu diajari bagaimana caranya berinteraksi di dalam kelompok dengan benar. Selain itu, jika ada suatu kendala yang muncul selama di dalam kelompok, hendaknya guru bisa menanganinya agar potensi pengaruh buruk yang muncul di dalam kelompok dapat dicegah.

Jadi, kesimpulan yang dapat kita ambil dari pendekatan teori kognisi ini adalah pemikiran atau kognisi yang murid miliki sebenarnya merupakan hasil dari interaksi sosial yang pernah ia alami bersama orang lain, baik itu teman-teman, orang tua, guru, komunitas, dan orang lain.

Lalu, bagaimana guru dapat mengimplementasikan pembelajaran kolaboratif di dalam kelas secara efektif agar keterampilan sosial murid juga meningkat? Kunjungilah halaman kursus Meningkatkan Keterampilan Sosial Murid dengan Pembelajaran Kolaboratif dengan mengklik kartu kursus di bawah ini, daftar, dan simaklah seluruh materi kursus secara fleksibel di HaiGuru!

Artikel Lainnya

Kunjungi Kami

Head Office & Studio
HaiGuru

Syarat Ketentuan

Kebijakan Privasi

Hubungi Kami
Ikuti Kami
Copyright @2021, HaiGuru®