Terjebak dalam Kebiasaan Lama: Mengapa Guru Indonesia Masih Kesulitan Mengajarkan Kemampuan Berpikir Kritis
Penulis: Maya Defianty & Kate Wilson
Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terotomasi, kemampuan berpikir kritis (critical thinking) menjadi hal yang berharga pada abad ke-21. Kemampuan ini membekali pelajar dengan kapasitas untuk mengkritisi dan memilah begitu banyak informasi di ujung jari, serta menganalisis masalah-masalah kompleks untuk menciptakan solusi unik dan baru. Di banyak negara, termasuk Indonesia, critical thinking masuk dalam kebijakan pendidikan. Kurikulum terbaru, misalnya, yakni “Kurikulum Merdeka”, secara eksplisit menyatakan kemampuan berpikir kritis sebagai indikator penting bagi para lulusan.
Bahkan, salah satu kebijakan pendidikan paling awal yang secara khusus memandatkan guru untuk memasukkan kemampuan berpikir kritis ke dalam pengajaran diterbitkan pada 2010 – lebih dari satu dekade lalu. Namun, walaupun ada kebijakan-kebijakan tersebut, penelitian kami menemukan bahwa banyak guru di Indonesia masih kesulitan dalam mengajarkan dan membangun kemampuan ini di antara murid.
Meski kesadaran terkait critical thinking itu tinggi, ketika mengajarkannya, guru masih terjebak pada kebiasaan lama yang sudah mendarah daging dalam pendidikan di Indonesia. Ini termasuk budaya pembelajaran berbasis hafalan dan mentalitas “mengajar untuk ujian”. Dalam laporan Programme for International Student Assessment (PISA) terbaru pada 2018, pelajar Indonesia masuk ke dalam peringkat 10 terbawah dari hampir 80 negara peserta. Mereka meraih nilai yang sangat rendah dalam beberapa indikator critical thinking – terutama literasi dan numerasi.
Kebiasaan Lama yang Mendarah Daging
Salah satu penyebab masalah ini terletak pada pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan oleh guru kepada murid di kelas. Dalam riset kami terhadap kelas-kelas mata pelajaran bahsa Inggris di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), kami menemukan bahwa alih-alih mengajak murid berpikir dan berefleksi, banyak guru terpaku pada pola mengajar “initiate-respond-evaluate” (inisiasi-respons-evaluasi). Artinya, guru seringkali hanya menguji atau memberikan ulangan lalu memberi tahu jawabannya.
Mentalitas semacam ini masih umum di Indonesia. Guru sejak lama dituntut untuk menyiapkan murid untuk menghadapi ujian-ujian penentu nasib, yang seringkali berbasis pilihan ganda, seperti Ujian Nasional. Walaupun Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) sudah menghentikan Ujian Nasional – pertama dilakukan pada 1965 – pada tahun 2020, dampaknya setelah 55 tahun masih sangat terasa di antara guru.
Misalnya, selain memperkenalkan standar-standar baru terkait critical thinking, pemerintah juga memberlakukan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk menggantikan Ujian Nasional. Asesmen ini tidak menentukan kelulusan dan hanya dipakai untuk mengevaluasi capaian belajar murid secara nasional. Meski demikian, guru masih fokus untuk memastikan murid bisa meraih skor tinggi pada standar-standar dan ajang asesmen tersebut. Metode evaluasinya berubah, tapi mentalitas serba ujian tersebut masih bertahan.
Obsesi terhadap skor tinggi dan jawaban yang tepat ini tidak selaras dengan prinsip pengajaran critical thinking yang menuntut murid untuk menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan solusi bagi suatu masalah.Riset kami juga menemukan bahwa guru kerap melewatkan peluang untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dalam aktivitas kelas. Karena mereka terjebak dalam pola inisiasi-respons-evaluasi, setelah selesai mengevaluasi jawaban murid, guru langsung beralih ke pertanyaan berikutnya ketimbang membiarkan munculnya diskusi lanjutan yang kaya. Ini juga menjadi disinsentif bagi murid yang sebenarnya ingin bertanya, sehingga mereka malah diposisikan sebagai penerima ilmu yang pasif. Karena murid sadar bahwa jawaban-jawaban mereka akan dievaluasi, mereka bisa saja merasa kurang nyaman berpartisipasi dalam aktivitas kelas.
Tak Sepenuhnya Salah Guru
Meski pemerintah sudah memasukkan critical thinking sebagai tujuan pembelajaran bagi murid, jejak-jejak budaya ujian masih kental dalam kebijakan pendidikan terkini. Dalam kurikulum saat ini, guru diminta untuk mendesain berbagai pertanyaan untuk membangun kemampuan analitis murid – umumnya dikenal sebagai pertanyaan-pertanyaan “Higher Order Thinking Skills” (Kemampuan Berpikir Tingkat Lanjur). Tapi, tujuannya masih berfokus pada menguji ketimbang mengajar.
Pembuat kebijakan di Indonesia tampaknya masih beranggapan bahwa membangun kemampuan berpikir kritis itu hanya berarti mengembangkan pertanyaan-pertanyaan khas ujian dari yang awalnya berbasis penghafalan dasar, menjadi pertanyaan ujian yang sedikit lebih kompleks.
Penelitian menunjukkan bahwa pemikiran semacam ini umum di antara sistem pendidikan yang berbasis luaran atau hasil (outcome-based education), termasuk Indonesia.
Membenahi Pengajaran Critical Thinking
Perlu pemahaman yang lebih matang akan critical thinking. Pengajaran harus bisa mendorong murid untuk mempertimbangkan berbagai alternatif, menemukan solusi atas suatu masalah, hingga menjelaskan proses penalaran mereka. Tapi, untuk mewujudkan ini, pemerintah dan guru perlu menciptakan suasana ruang kelas yang mendukung dan aman. Murid butuh ruang untuk mengekspresikan ide-ide mereka dan menyuarakan pendapat maupun kekhawatiran mereka. Para murid harus terlibat dalam dialog terbuka dan reflektif dengan sesama maupun dengan guru.
Dalam riset kami yang tengah berlangsung, kami berkolaborasi dengan beberapa guru terpilih di Jawa Barat untuk bereksperimen dengan pembelajaran berbasis proyek. Di salah satu kelas, misalnya, murid mendiskusikan dan merefleksikan isu-isu sosial tertentu untuk mempersiapkan proyek siniar (podcast). Lewat kerja kelompok dan kerja sesama murid secara aktif, guru membongkar pola tradisional inisiasi-respons-evaluasi, dan kini memposisikan murid – keitmbang mereka sendiri – menjadi pusat dari proses pembelajaran.
Para murid secara independen meneliti suatu topik dan mengembangkan podcast mereka sendiri untuk melakukan refleksi kritis atas penyebab dan dampak dari isu sosial tertentu, serta menawarkan solusi mereka yang disertai penjelasan yang mendalam. Pengajaran tradisional yang berpusat pada guru memang punya beberapa manfaat, misalnya terkait manajemen ruang kelas yang lebih mudah. Tapi, critical thinking membutuhkan lingkungan belajar yang lebih demokratis dan inklusif. Dengan begini, murid lebih bisa berinteraksi dengan konsep-konsep yang menguji pemikiran.
Pemberhentian Ujian Nasional secara permanen sejak 2020 adalah tonggak penting yang harapannya bisa mulai mengakhiri budaya pengujian dalam sistem pendidikan Indonesia. Sekarang, guru harus mengembangkan strategi-strategi baru untuk membangun kemampuan berpikir kritis para murid.
Nah, sebagai pendidik Kristen, bagaimana kita dapat mendidik para murid menjadi pemikir kritis yang memiliki karakter Christ-like? Strategi apa saja yang dapat diaplikasikan oleh guru? Temukan jawabannya di kursus HaiGuru, Mendidik Murid Menjadi Pemikir Kritis dalam Kristus!