Game, Game-based Learning, dan Pendidikan Kristen

Penulis: Ryan Oktapratama, B.Ed., M.Pd.

Kevin Schut dalam bukunya yang berjudul “Playing Games with Christian Education: Exploring Embodied Faith in Media Production” menyebutkan bahwa karena mereka mengajar di universitas Kristen yang secara teratur mendorong mereka untuk mempertimbangkan integrasi kepercayaan, praktik, dan nilai-nilai Kristen dengan konten kursus mereka, rekan instruktur dan Schut telah berusaha menyampaikan kurikulum pengembangan game berbasis iman.

Mereka tahu apa yang ingin mereka ajarkan, tetapi apakah itu cukup Kristen? Apa yang membuat kurikulum pengembangan game menjadi alkitabiah? Inilah pertanyaan yang direnungkan oleh Schut. Karena berbagai alasan, mereka tidak memiliki keinginan untuk membuat game Kristen yang eksplisit. Mereka ingin isinya membawa kemuliaan bagi Tuhan, tetapi merasa tidak perlu menceritakan kisah-kisah Alkitab.

Lebih lanjut, Schut mengutip pemikiran dari James K.A. Smith, yang menyampaikan pesan:

“Visi pendidikan Kristen memvisualisasikan pengajaran yang memupuk pendekatan hidup yang sangat berbeda dari pendidikan sekuler: pendidikan Kristen harus mewujudkan iman kepada Yesus melalui liturgi berdasarkan ibadah. Dengan kata lain, pengajaran harus mencakup tindakan yang menghubungkan gagasan dengan tindakan nyata yang membangun Kerajaan Allah di dunia ini.”

Tantangannya, tentu saja, adalah menerapkan ide-ide inspiratif ini di kelas, sebagaimana diungkapkan oleh Schut. Bahkan, Smith melangkah lebih jauh dengan memperingatkan bahwa pendidikan Kristen yang sejati mungkin tidak mempersiapkan murid dengan baik untuk karir di ekonomi modern, karena nilai-nilai dunia dibangun ke dalam ekonomi itu.

Tetapi, Schut berpendapat bahwa narasi Alkitab juga menunjukkan akomodasi atau keterlibatan yang sering antara umat Allah dan beberapa aspek budaya sekitarnya. Singkat cerita, melalui semua perubahan ekonomi, politik dan sosial yang sangat besar, Alkitab menceritakan kisah Tuhan yang bekerja di dalam hati dan kehidupan manusia.

Dengan kata lain, meskipun umat Tuhan secara konsisten dipanggil untuk menjadi berbeda, kekhasan itu tidak selalu memanifestasikan dirinya dalam pekerjaan, ekonomi atau politik.

Tetapi, ini tidak serta merta bertentangan dengan seruan Smith untuk pendidikan Kristen yang menyimpang secara radikal dari bentuk pendidikan sekuler, tetapi hal itu menunjukkan adalah mungkin untuk memiliki visi berbasis alkitabiah di mana umat Allah dapat terlibat dalam seni dan profesi yang mapan di masa sekarang ini.

Alkitab memberikan kesaksian tentang pendekatan yang berbeda terhadap tantangan umat Tuhan menjadi saksi khas budaya sekitarnya, dan ini akan menjadi poin penting dalam mengevaluasi bagaimana Schut dan rekan-rekannya mengajar murid-murid mereka dalam membuat permainan.

Jadi kita kembali ke pertanyaan awal: apakah proyek-proyek pengembangan permainan ini mewakili jenis pendidikan Kristen sebagaimana yang diungkapkan oleh Smith dan pendukung narasi alkitabiah dari Schut dan rekan-rekannya?

Pertama, salah satu fitur yang jelas positif dari proyek pengembangan game adalah penerapan teorinya ke hasil praktis. Namun, manfaat seperti itu tidak terbatas pada pendidikan Kristen: sekolah sekuler mana pun dapat melakukan hal yang sama.

Pendidikan Kristen, sebagaimana yang diungkapkan oleh Smith, perlu menunjukkan beberapa aspek kehidupan kerajaan dan harus membantu mengembangkan imajiner sosial Kristen. Salah satu cara ini terjadi adalah dalam pertimbangan pengembang atas sifat konten yang dihasilkan.

Misalnya, Schut memberi contoh, mereka harus memastikan karakter visual menarik menarik tanpa mencontoh seksualitas tidak sehat dari industri musik kontemporer yang digunakan dalam permainan. Komposer mereka membuat lusinan klip lagu, dan mereka harus memastikan liriknya menarik, lucu, dan sesuai dengan topik dan audiens mereka.

Kedua, dalam pengembangan permainan, Schut dan rekan-rekannya harus menghadapi tantangan untuk membuat konten yang bersifat menebus (redemptive). Tidak ada permainan yang secara eksplisit berhubungan dengan narasi Kristen, jadi bagaimana mereka bisa membuat sesuatu yang membantu membangun kerajaan Allah?

Schut menjelaskan bahwa mereka mencoba untuk meraih keunggulan atau excellence. Kapasitas mereka terbatas jika dibandingkan dengan tim pengembangan game yang berpengalaman dan memiliki sumber daya yang baik. Tetapi sejauh yang mereka bisa, mereka bermimpi, mengeksekusi, merevisi dengan berusaha mencapai kualitas tertinggi dalam seni dan desain serta musik dan pengkodean (coding).

Demikian pula, mereka berusaha sekreatif mungkin. Keunggulan dan kreativitas adalah nilai-nilai artistik yang mengembangkan kapasitas kita sebagai manusia dan dengan demikian memuliakan Tuhan. Mereka juga terus mempertimbangkan masalah etika seputar produksi, yang paling jelas di bidang plagiarisme dan hak cipta.

Di bagian akhir tulisannya, Schut percaya proyek pengembangan game mereka dalam beberapa hal sesuai dengan visi pendidikan Kristen sebagaimana yang disampaikan oleh Smith, tetapi jelas ada masalah yang harus diselesaikan jika kita akan menggunakannya sebagai model untuk program pengembangan game baru.

Lebih lanjut, disebutkan bahwa kemampuan untuk mempraktikkan prinsip-prinsip baik dalam hal produksi media dan pembangunan tim adalah peluang besar untuk membangun kerajaan Allah.

Tetapi kita harus bekerja keras untuk membuat proyek semacam ini layak dalam program baru kita, dan kita juga harus lebih sengaja dan eksplisit dengan para murid dan guru tentang cara iman kita membentuk praktik kita. Sehingga, sebagai kesimpulannya bagi Schut adalah pengembangan game merupakan area yang sah bagi pendidikan Kristen untuk kita dapat menginvestasikan waktu dan tenaga kita.

Dalam kaitannya dengan pembelajaran berbasis permainan dan gamifikasi, hal-hal berikut dapat kita tarik implikasinya berdasarkan apa yang sudah dipaparkan oleh Schut. Pertama, bahwa mempertimbangkan sifat atau isi dari konten yang disajikan dalam pembelajaran berbasis permainan dan gamifikasi tidak memuat hal-hal yang berlawanan dengan apa yang telah diajarkan di dalam Alkitab.

Hal ini mungkin mudah dilakukan dalam hal gamifikasi dimana game tidak menjadi yang utama dalam pembelajaran. Tetapi, guru perlu lebih berhati-hati dalam konteks pembelajaran berbasis permainan, dimana permainan adalah hal yang utama di dalam pembelajaran.

Beberapa pengembang permainan tidak memiliki niat awal untuk menjadikan permainan mereka dalam ranah edukasi. Oleh karena itu, salah satu cara konkrit bagi guru untuk memastikan sifat atau isi konten aman bagi murid adalah dengan melihat apakah permainan tersebut tertera secara jelas memiliki versi edukasinya, atau dalam misi pengembang, edukasi adalah tujuan pengembangannya.

Kedua, penggunaan permainan dalam pembelajaran haruslah lebih mengasah kapasitas kita sebagai manusia. Ini berarti penggunaan permainan demi menghindari kedisiplinan dan kerja keras, tentu merupakan hal yang tidak benar. Penggunaan permainan haruslah memicu murid untuk belajar lebih disiplin.

Sebaliknya, memainkan permainan demi mendapatkan poin tertinggi juga berada di ekstrim yang salah, sebab segala sesuatu ada waktunya. Dalam konteks murid, ada waktu untuk belajar, dan ada waktu untuk istirahat. Belajar menggunakan permainan sehingga mengabaikan waktu istirahat, atau bahkan hari Sabat, sudah menjadi praktik yang tidak sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan.

Timbul juga satu pertanyaan lagi, yaitu apakah game-based learning bisa meningkatkan hasil belajar murid? Bagaimana guru bisa memastikan implementasi game-based learning terlaksana dengan baik? Daftar kursus Game dan Gamifikasi: Benarkah bisa meningkatkan hasil belajar murid? dan dapatkan jawaban dari pertanyaan ini sekarang juga dengan mengklik course card di bawah ini!

Artikel Lainnya

Kunjungi Kami

Head Office & Studio
HaiGuru

Syarat Ketentuan

Kebijakan Privasi

Hubungi Kami
Ikuti Kami
Copyright @2021, HaiGuru®